A. Sarana
Sarana yang memungkinkan untuk menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi pada dasarnya dapat ditempuh 3 (tiga) cara, yaitu negosiasi atau alternatif sengketa, arbitrase, dan melalui lembaga peradilan.
1. Negosisasi
Sarana ini dipandang yang peling efektif, dan banyak digunakan. Lebih dari 80% sengketa bisnis dilakukan dengan cara negosisasi penyelesaian sengketa secara negosisasi sangat cocok bagi bisnis di Indonesia kerena pengusaha Indonesia mayoritas pengusaha menengah dan kecil. Pada walnya mereka tidak terlalu memperdulikan sistem kontrak, umumnya jika mereka menandatangi kontrak, mereka kurang begitu peduli dengan bunyi klausul-klausul dalam kontrak. Mind-set seperti ini terbawa pula ketika ternyata kemudian sengketa, mereka berupaya menyelesaiakan secara baik-baik dan kekeluargaan.
2. Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini sangat popular dikalangan pengusaha. Kontrak-kontrak komersial sudah cukup banyak mencantumkan kalusul arbitrase dalam kontrak mereka. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), sudah semakin popular Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMI), badan penyelesaian sengketa bisnis. Tantangan ke depan adalah tangantangan untuk menyelesaiakan sengketa ini. Salah satu tolok ukur dari keberhasilan badan-badan penyelesaian sengketa melalui abtrase adalah kualiats para arbitratornya.
3. Pengadilan
Pandangan umum yang lahir dan masih berkembang di masyarakat adalah adanya ketidakpuasan dalam sebagian masyarakat terhadap badan pengadilan. Pengusaha atau para pelaku ekonomi dan bisnis terlebih masyarakat awam meliahat hokum bukan dari produk-produk hukum yang ada atau pemerintah keluaran. Masyarakat umumnya melihat pengadilan adalah hukum.
B. Permasalahan
Ada 4 masalah sentral yang timbul dalam penyelesaian sengketa ekonomi, yaitu :
1. Masalah Penghormatan Terhadap Hukum
Mind-set masyarakat terhadap hukum ini harus di ubah secara bertahap, berhati-hati dan terencana. Diperguruan tinggi atau BPHN sudah banyak lahir teori-teori mengenai bagaimana penghormatan terhadap hukum ini perlu dilakukan.
2. Kepastian Hukum
Masalah ini termasuk masalah gawat, karena kasus-kasus terbesar yang melibatkan Indonesia di forum-forum arbitrase internasional adalah karena tidak adanya kepastian hukum.
3. Kewenangan dan Putusan Badan Arbitrase
Masalah ini terus berlanjut seolah-olah akan kontroversi mengenai masalah ini tiada henti.
4. Kultur Berperkara Masyarakat
Sengketa-sengketa mengenai mengenai pembatalan putusan-putusan arbitrase asing (dan perlawanan terhadap putusan arbitrase domestik), yang acap timbul belakangan ini, mungkin dapat dipandang ke dalam cangkupan kultur.
C. Hukum yang Menunjang
Agustus 1999 pemerintah mengeluarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. UU ini terdapat 2 cara menyelesaiakn masalah, pertama diletakkannya dasar hukum yang mapan bagi arbitrase. Kedua, diletakkannya dasar hukum bagi alternatif penyelesaian sengketa. Satu hal positif dalam UU tersebut adalah diaturnya ketentuan mengenai ADR (Pasal 6). Pasal ini penting, ia meletakkan dasar hukum yang tegas bagi kemungkinannya para pihak untuk menyelesaikan sengketa bisnisnya dengan menggunakan cara-cara yang mereka pilih.
Selasa, 31 Mei 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar